Tata Laksana Malaria Terkini ( PAPDI Palembang.org)
Selain menjelaskan tentang ACT, Paul pun mengungkapkan bahwa tata laksana malaria didasarkan pada diagnosis mikroskopik dan harus dipantau selama 28-42 hari karena obat anti malaria memiliki waktu paruh yang panjang. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah pentingnya pemberian obat anti malaria dosis awal sebelum merujuk pasien malaria.
Saat ini kasus malaria meningkat di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Bahkan kasus malaria di Indonesia pun mulai menyebar sampai ke Jawa dan Bali akibat mobilisasi penduduk Indonesia bagian Timur.
Situasi tersebut diperburuk dengan adanya krisis ekonomi dan meningkatnya kasus malaria multiresistan. Disebutkan bahwa parasit Plasmodium telah resistan terhadap klorokuin dan sulfadoksin pirimetamin sehingga dibutuhkan tata laksana malaria baru.
Pembahasan mengenai tata laksana malaria terkini dipaparkan secara jelas oleh dr. Paul Harijanto, SpPD-KPTI dalam simposium 9th Jakarta Antimicrobial Update (JADE) 2008. Pada kesempatan tersebut beliau memaparkan pedoman tata laksana malaria terkini yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2006, yaitu penggunaan terapi kombinasi dengan artemisinin (Artemisinin base Combination Therapy, ACT). Terdapat empat macam ACT yang direkomendasikan, yaitu artesunat dan meflokuin, artemeter-lumefantrin, artesunat dan amodiakuin, serta artesunat dan sulfadoksin- pirimetamin. Namun, yang ada di Indonesia saat ini hanyalah kombinasi artesunat dan meflokuin serta artemeter dan lumefantrin.
Beberapa studi pun dilakukan untuk melihat efektivitas ACT tersebut. Studi di Thailand dilakukan terhadap 490 pasien malaria falsiparum tanpa komplikasi. Sampel secara acak diberikan artemeter-lumefantrin (n=245) serta artesunat dan meflokuin (n=245), kemudian dipantau selama 42 hari. Selama pemantauan ternyata semua pasien memberikan respons klinis dan parasitologi yang cepat. Hasilnya pun didapatkan angka kesembuhan yang tinggi pada hari ke-42 untuk kedua macam ACT tersebut. Keduanya juga ditoleransi sangat baik tanpa menimbulkan efek samping yang serius.
Studi lain di Papua membandingkan efektivitas antara dihidroartemisinin-piperakuin dengan artesunat dan amodiakuin pada malaria falsiparum dan vivax. Ternyata dihidroartemisinin-piperakuin lebih efektif dan ditoleransi lebih baik dibandingkan kombinasi artesunat dan amodiakuin. Selain itu didapatkan angka kegagalan menurunkan jumlah parasit pada hari ke-42 sebesar 45% untuk kombinasi artesunat dan amodiakuin serta 13% untuk dihidroartemisinin-piperakuin.
Pada simposium tersebut, Paul mengatakan bahwa artemisinin dapat digunakan oleh orang hamil tanpa efek samping yang mengkhawatirkan. Selain itu, pemberian artemisinin tidak perlu penyesuaian dosis. Bahkan derivat artemisinin juga efektif diberikan pada kasus malaria berat. Dosis artesunat untuk malaria berat adalah 2,4 mg/kgBB yang diberikan setiap dua belas jam selama tujuh hari. Pemberian obat anti malaria untuk malaria berat sebaiknya secara parenteral atau dalam bentuk supositoria.
Walaupun belum ada laporan kasus kegagalan pengobatan dengan artemisinin, tetapi penelitian untuk menemukan ACT yang paling efektif masih perlu dilakukan. Selain itu perlu ditekankan bahwa penggunaan ACT harus disiplin untuk mencegah terjadinya resistansi terhadap artemisinin.
Sumber: papdi.org
Daur Hidup Malaria |
Selain menjelaskan tentang ACT, Paul pun mengungkapkan bahwa tata laksana malaria didasarkan pada diagnosis mikroskopik dan harus dipantau selama 28-42 hari karena obat anti malaria memiliki waktu paruh yang panjang. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah pentingnya pemberian obat anti malaria dosis awal sebelum merujuk pasien malaria.
Saat ini kasus malaria meningkat di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Bahkan kasus malaria di Indonesia pun mulai menyebar sampai ke Jawa dan Bali akibat mobilisasi penduduk Indonesia bagian Timur.
Situasi tersebut diperburuk dengan adanya krisis ekonomi dan meningkatnya kasus malaria multiresistan. Disebutkan bahwa parasit Plasmodium telah resistan terhadap klorokuin dan sulfadoksin pirimetamin sehingga dibutuhkan tata laksana malaria baru.
Pembahasan mengenai tata laksana malaria terkini dipaparkan secara jelas oleh dr. Paul Harijanto, SpPD-KPTI dalam simposium 9th Jakarta Antimicrobial Update (JADE) 2008. Pada kesempatan tersebut beliau memaparkan pedoman tata laksana malaria terkini yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2006, yaitu penggunaan terapi kombinasi dengan artemisinin (Artemisinin base Combination Therapy, ACT). Terdapat empat macam ACT yang direkomendasikan, yaitu artesunat dan meflokuin, artemeter-lumefantrin, artesunat dan amodiakuin, serta artesunat dan sulfadoksin- pirimetamin. Namun, yang ada di Indonesia saat ini hanyalah kombinasi artesunat dan meflokuin serta artemeter dan lumefantrin.
Beberapa studi pun dilakukan untuk melihat efektivitas ACT tersebut. Studi di Thailand dilakukan terhadap 490 pasien malaria falsiparum tanpa komplikasi. Sampel secara acak diberikan artemeter-lumefantrin (n=245) serta artesunat dan meflokuin (n=245), kemudian dipantau selama 42 hari. Selama pemantauan ternyata semua pasien memberikan respons klinis dan parasitologi yang cepat. Hasilnya pun didapatkan angka kesembuhan yang tinggi pada hari ke-42 untuk kedua macam ACT tersebut. Keduanya juga ditoleransi sangat baik tanpa menimbulkan efek samping yang serius.
Studi lain di Papua membandingkan efektivitas antara dihidroartemisinin-piperakuin dengan artesunat dan amodiakuin pada malaria falsiparum dan vivax. Ternyata dihidroartemisinin-piperakuin lebih efektif dan ditoleransi lebih baik dibandingkan kombinasi artesunat dan amodiakuin. Selain itu didapatkan angka kegagalan menurunkan jumlah parasit pada hari ke-42 sebesar 45% untuk kombinasi artesunat dan amodiakuin serta 13% untuk dihidroartemisinin-piperakuin.
Pada simposium tersebut, Paul mengatakan bahwa artemisinin dapat digunakan oleh orang hamil tanpa efek samping yang mengkhawatirkan. Selain itu, pemberian artemisinin tidak perlu penyesuaian dosis. Bahkan derivat artemisinin juga efektif diberikan pada kasus malaria berat. Dosis artesunat untuk malaria berat adalah 2,4 mg/kgBB yang diberikan setiap dua belas jam selama tujuh hari. Pemberian obat anti malaria untuk malaria berat sebaiknya secara parenteral atau dalam bentuk supositoria.
Walaupun belum ada laporan kasus kegagalan pengobatan dengan artemisinin, tetapi penelitian untuk menemukan ACT yang paling efektif masih perlu dilakukan. Selain itu perlu ditekankan bahwa penggunaan ACT harus disiplin untuk mencegah terjadinya resistansi terhadap artemisinin.
Sumber: papdi.org