PTT, Antara Pengabdian atau Pekerjaan

by : dr. mimi Unbraw
              Ada sebuah cerita dari seorang teman sejawat di daerah PTT, pernah suatu ketika dia bertanya pada dokter lain saat pemberangkatan PTT, “Sebelum berangkat PTT ini, pekerjaan sampeyan apa?”. Suatu pertanyaan yang sangat biasa di kalangan dokter-dokter PTT. Hal yang terasa agak aneh buatku adalah jawaban sang dokter PTT ini, dengan santainya berkata “Lho, pekerjaan saya ya PTT…”. Awalnya agak bingung juga denger jawaban semacam itu.
Setelah anamnesa lebih jauh, ternyata dokter yang satu ini merupakan angkatan lumayan tua, yang telah berkali-kali melanglangbuana untuk PTT dari satu daerah ke daerah lainnya. Baru kali ini kebayang di benakku hal semacam itu. Kalo cerita tentang teman sejawat yang kerasan di tempat PTT, terus memperpanjang masa PTT-nya sih masih sering denger. Tapi cerita seorang dokter yang tiap tahun daftar PTT dengan daerah yang beda-beda masih terdengar asing di telingaku.
Sebagai seorang dokter (apalagi dokter fresh graduate), pilihan untuk menjalani PTT di daerah kriteria sangat terpencil mungkin akan sangat menggiurkan. Gaji dan tunjangan lumayan besar dari Depkes sudah pasti akan ada di genggaman, belum lagi jika ada tambahan insentif daerah, atau tambahan dari praktek pribadi di tempat PTT, sungguh telah menjadi magnet buat sejumlah besar teman sejawat kita. Selesai menjalani PTT, kembali ke daerah asal dengan berjuta-juta pengalaman (dan juga duit tentunya…), untuk kemudian meneruskan studi atau mencari pekerjaan yang baru. Bagi banyak di antara kita, mungkin akan terasa sulit mendapat pekerjaan dengan penghasilan seperti yang didapatkan saat PTT, sehingga sangat mungkin timbul keinginan untuk menjalani PTT lagi di daerah sangat terpencil. Apalagi buat pecinta petualangan, hmm… sambil menyelam minum air, berpetualang ke pelosok-pelosok Indonesia (dengan biaya ditanggung Depkes) sekaligus meraup rupiah dalam jumlah lumayan besar… enak tho, manteb tho…
Dari dokter-dokter yang PTT di Propinsi Gorontalo, yang aku tau, minimal ada 4 orang dokter yang sudah 2 kali ini menjalani PTT di tempat berbeda, walaupun ada juga dokter yang memperpanjang masa PTT-nya di sini (bahkan kabarnya ada yang sampai 5 kali perpanjangan PTT, edan…). Jumlah itu adalah jumlah yang sudah pasti aku tau, dan mungkin hanya sebagian kecil saja, maklumlah kan gak mungkin aku kenal dan ngobrol dengan semua dokter PTT di Gorontalo ini. Suatu ketika sempet aku tanya ke seorang dokter yang telah 2 kali PTT ini, “Kenapa kok pengen PTT lagi pak?”, ternyata alasannya sangat sederhana dan manusiawi, “Ya karena nganggur gak ada kerjaan, mending PTT aja…”. Sebuah jawaban sederhana dan jujur, yang langsung meresap di benakku. Iya juga ya, ntar abis PTT kan aku juga musti nyari kerja. Dengan titel seorang dokter, ternyata belon tentu akan gampang nyari kerja, sama aja dengan gelar-gelar kesarjanaan yang laen, musti apply dulu, tes, wawancara, dll… Kalo mau jadi PNS juga musti ikut tes CPNS, bersaing dengan ribuan dokter lainnya. So, jadilah PTT sebagai salah satu “pekerjaan” alternatif bagi banyak dokter di Indonesia. “Iseng-iseng berhadiah”, istilah salah satu temen yang juga berangkat PTT kemarin.
Tetapi perlu diingat, dengan adanya fenomena seperti ini, bukan berarti PTT itu selalu enak. Ada juga diantara teman sejawat yang selepas PTT langsung kapok, “gak lagi-lagi deh aku PTT…”. Nah, “enak” atau tidak menjalani PTT, tentu saja sangat tergantung dari tempat dimana kita PTT. Itulah pentingnya kita punya senior-senior, baik itu durante atau post PTT, yang bisa jadi rujukan info tentang daerah PTT yang mungkin akan kita pilih. Sampai sejauh ini sih cerita yang aku denger tentang dokter-dokter PTT lainnya masih berimbang, antara yang menyenangkan maupun yang mengenaskan.
Terlepas dari enak atau tidaknya PTT yang akan kita lakukan nanti, sebelum mendaftar PTT sudah seharusnya kita mempersiapkan diri buat kemungkinan terburuk. Walaupun sudah banyak perbaikan dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi sudah bukan rahasia lagi bahwa sampai saat ini masih ada daerah yang kurang memperhatikan kondisi dokter-dokter PTT di wilayahnya. Menyenangkan atau tidak, yang pasti begitu kita sudah di lokasi PTT, mau nggak mau, suka ato enggak ya musti kita jalani, lha wong kita sendiri yang ndaftar PTT… Nah, karena kita PTT dengan niat kita sendiri, yang bukan merupakan suatu keharusan, maka sudah menjadi suatu keniscayaan buat kita untuk menjalankan tugas dengan ikhlas.
Lain halnya dengan jaman dulu, dimana PTT merupakan suatu kewajiban yang musti dilewati dokter sebelum bisa mendapatkan SIP. Jadi, kalo dipikir-pikir lagi, mungkin PTT jaman dulu lebih ke arah pengabdian kali ya (walaupun dengan label “wajib” yang berarti mau ato enggak ya dipaksa musti mau, hehehe…). Singkatnya, sebelum bisa praktek sendiri, ya musti melakukan pengabdian dulu melalui PTT, baik itu emang pengen ato terpaksa karena label “wajib” tadi. Tetapi saat ini rupanya mulai terjadi pergeseran trend, dimana PTT yang walaupun gak lagi diwajibkan, tetapi tetap meraih banyak sekali peminat dengan bermacam-macam motif untuk daftar PTT (ciee… motif, kayak berita-berita kriminal aja). Yah, emang sih, ada indikasi (masih mungkin lo ya) kebanyakan motif utama tetep duit, yang kurang lebih bisa digambarkan dengan banyaknya temen sejawat yang hanya memilih kriteria sangat terpencil, dengan mengosongi pilihan 2 (harus kriteria terpencil) atau 3 (bersedia ditempatkan dimanapun sesuai alokasi jika tidak diterima di pilihan 1 dan 2). So, jadilah PTT kriteria terpencil seringkali banyak tempat yang masih kosong alias gak ada peminatnya (pak ato bu Depkes… ada solusi gak ???).
PTT itu sendiri kerjanya gimana sih? Ya tentu aja sangat bervariasi, tergantung daerahnya juga, kebanyakan sih sebagai dokter fungsional di PKM, bisa PKM rawat jalan ato rawat inap. Trus, beban kerjanya juga bervariasi banget. Ada kalanya beban kerja di daerah kriteria terpencil justru lebih berat daripada di daerah sangat terpencil. Berat ringannya medan yang musti ditempuh, ketersediaan air, listrik, ato rumah dinas juga sangat tergantung dimana kita PTT. Kalo di Gorontalo Utara sih semuanya dah bisa diakses dengan mobil, lewat jalan beraspal, dengan listrik yang alhamdulillah lancar biarpun sering mati mendadak, dan air yang juga masih relatif mudah didapatkan (di tempatku malah ada depo isi ulang air galon, sebutannya di sini “perusahaan air minum”, weleh-weleh…). Yang membedakan kriteria terpencil dengan sangat terpencil paling cuman jauh ato tidaknya dari kota. Tapi, sekali lagi, semuanya dah bisa diakses dengan lancar naik mobil angkutan.
Nah, dari uraian di atas, PTT-ku ini termasuk yang mana nih? Pengabdian??? Pekerjaan??? Hmm… dibilang pekerjaan sih kayaknya gak harus PTT kali buat nyari pekerjaan dg gaji setara PTT kriteria terpencil, di Jawa insyaAllah masih bisa. Dibilang pengabdian juga gak seberat itu kali kerjanya, ya sama aja dengan dokter fungsional PKM di Jawa, cuman lebih sepi aja… lebih sepi pasien, lebih sepi masyarakat, lebih sepi hiburan, lebih sepi suara kendaraan, tapi lebih rame suara jangkrik… Jadi, termasuk yang mana, ya enaknya di-mix aja, termasuk pekerjaan yang mengandung sedikit pengabdian, sekaligus lahan mencari pengalaman… plus bulan madu…hehehe…(sumb; diazepamania.wordpress.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Footer Widget 2