Menembus Batas

           Petualangan dan pengabdian, dua hal yang cukup pas untuk menggambarkan kisah-kisah mereka seelama menjalankan tugas PTT di pelosok pelosok Nusantara.Dan hal ini menurut saya sangat layak untuk disatukan dalam wadah seperti blog ini yang tentunya akan membantu sekali adik  adik kita yang hampir lulus menjadi dokter yang tertarik untuk berkelana dan mengabdi di berbagai pelosok daerah di Negeri ber alam elok luar biasa ini .Yang notabene terdiri dari ribuan pulau dan masih banyak daerah yang belum terjamah dokter. Agar mereka setidaknya lebih mengenal medan dan memiliki sedikit banyak gambaran sebelum mereka benar benar terjun ke pelosok/pedalaman,yang pada dasarnya adalah "pilihan" mereka sendiri, dengan berbagai pertimbangan dan tujuan berdasarkan informasi2 yang mereka cari, atau bahkan banyak pula yang sekedar "asal pilih" atau ikut ikutan teman Dan untuk para sejawat, narasumber dan donatur donatur kisah , apapun itu wujud sumbangsih anda, melalui komentar,email, dan lain sebagainya yang bermanfaat untuk berkembangnya blog ini.,sekaligus beramal kepada adik adik atau junior kita yang juga telah menjadi "saudara kandung" (sejawat) kita, agar lebih bersemangat dan siap mental ,dan "sedikit banyak" tahu medan sebelum terjun ke pelosok negeri tercinta ini.semoga Tuhan membalas budi baik sejawat. ( Salam Pengabdian dr.Titto H.)
            
          Menurut kata beberapa sejawat yang bijak, memang sebenarnya memilih tempat PTT itu hampir sama dengan memilih pasangan (suami atau istri), berbeda dengan pesiar..yang boleh diumpamakan seperti pacaran,maksudnya kalo kamu bosen, ga cocok, ga sreg ya tinggal aja. Tapi kalo PTT kayak menikah, artinya kamu harus komitmen, suka nggak suka kamu harus jalanin..!(by:dr.Anggraeniqueen.(Mantapp! setuju 100% blehh...)kalo ada yang "asal pilih" dan kebetulan memang pas, yah harus benar benar bersyukur, broo.. karena banyak juga yang "asal pilih" dan mendapatkan daerah yang ....:( --> Ampunn dijeeee, yaah, selamat merenung dan instrospeksi diri,( ya Tuhaan, dosa apa yang telah aku perbuatt..) Ahahahay...
           Hmm..ada pendapat dokter yang sedang PTT (mengabdi sebagai pegawai tidak tetap) tidak bisa nge"blog" sebenarnya hal itu tidak seratus persen benar. Banyak informasi PTT dokter ternyata juga bisadinikmati diblog. Beliau-beliau ini rela meluangkan waktu, tenaga dan biaya hanya untuk mengabarkan pengalaman mereka di daerah PTT melalui blog. Ya, kadang beliau para dokter umum ini harus ke kota dulu untuk memperoleh akses Internet.
         Sebenarnya, selain yang tersebut berikut ini, masih banyak kisah dokter PTT yang dapat dibaca di berbagai 'mail list', forum, maupun harian cetak edisi digital. Contoh kali ini adalah blog dokter PTT yang masih aktif dalam 3 bulan terakhir. Ditampilkan secara acak.
Di antara mereka, ada yang memang menyandang status bloger sebelum menjadi dokter PTT. Misalnya dr. Pinto Sjafri. Dokter Pinto Sjafri dengan 'nickname' alien yang memang fasih teknologi informasi ini masih setia mengisahkan PTT-nya di Sulawesi Tenggara. Salah satu kisah lawasnya yang menarik menurut saya adalah yang saya tulis sendiri dan sumbangan dari beberapa teman dokter yang senasib yang bertemu secara langsung atau pun sekedar online saja. (sumb.:daniiswara.net).

Short Story PTT ku di Biak Numfor



Short Story tentang PTT-ku di Biak-Numfor 

 
 

Numfor? Kameri? Wah… daerah mana tuh??

Baru kali itulah aku mendengarnya. Setelah mencari-cari info, akhirnya aku baru tahu, bahwa Numfor itu sebuah pulau yang terletak di teluk Cendrawasih, di bagian kepala burung dari Papua. Saat itu, disana terdapat 2 distrik yakni distrik Numfor Timur dan distrik Numfor Barat, dengan 3 Puskesmas yakni Pkm Yenburwo, Pkm Kameri, dan Pkm Mandori.

Karena satu dan berbagai hal, keberangkatan kami ke Numfor tertunda sampai awal Desember. Kita dapat menjangkau Numfor melalui 2 macam transportasi, yakni dengan kapal [waktu tempuh bervariasi antara 12-24 jam], atau dengan pesawat perintis Twin Otter [30 menit saja!]. Dan itulah pertamakalinya aku mencicipi bagaimana rasanya menaiki pesawat kecil berpenumpang 16 orang itu. Mendebarkan!

Sampai di bandara FOO di Yenburwo [“ibu kota” nya Numfor], kami dijemput oleh kepala Pkm kami, yakni Bapak Simson Kapisa, yang akrab juga dipanggil Paman [ini akronim dari “Pak Mantri” hehe :D ]. Dari Yenburwo ke Kameri dapat ditempuh dalam 15 menit perjalanan dengan mobil. Waktu itu aku agak sedikit ngeri, karena perjalanan kami melintasi hutan yang lebat dan sepi…

Sekilas pandang, saat itu aku merasa Numfor cukup oke. Pemandangan yang indah [Numfor tuh eksotis banget], ada jalan beraspal, rumah-rumahnya sudah berdinding tembok, ada satu-dua kendaraan bermotor yang lewat, dan penduduknya sudah berpakaian lengkap! [well… penduduk Numfor tidak ber-koteka lagi :D ]. Apalagi saat melihat layar HP, masih ada sinyal Telkomsel. Waahh… benar-benar satu karunia bahwa hp ku bisa aktif di Numfor. Dan aku melihat ada 1 masjid di Yenburwo, waahhh… hebat juga, soalnya mayoritas penduduk Numfor kan Kristen Protestan.

***
Di Numfor, kami menempati rumah dinas yang terletak di kompleks Puskesmas. Pkm Kameri sendiri terletak di desa Pomdori, distrik Numfor Barat. Suasananya cukup lumayan, tidak sepi-sepi amat. Tapi yang lebih keren lagi, Pkm kami berada ditepi pantai. Menyenangkan!

Berhubung aku cewek, aku tinggal di rumah dinas bersama mbak Rosa, perawat PKm. Sedangkan Bafith tinggal bersama mas Aho dan istrinya di rumah didepanku. Hampir semua peralatan rumah tangga sudah lengkap di rumah dinas. Ternyata Paman berpikiran jauh, agar petugas Pkm betah, maka rumah dinas telah dilengkapi terlebih dahulu. Well, tidak semua kepala Puskesmas berpikir seperti itu lho… Makanya dari awal aku sudah salut dengan Paman.

Selama tinggal di Numfor, untuk makan sehari-hari, tidak ada kesulitan. Di Numfor juga tersedia toko yang menjual bahan pangan pokok seperti beras. Tapi kesulitan utama disana ialah susah mendapatkan sayuran dan buah-buahan. Paling-paling ya makan dengan ikan, mie instant atau dengan sayuran yang umum disana, yakni daun katok, daun pepaya dan daun singkong.

Petugas Pkm Kameri terdiri dari orang asli dan pendatang. Tapi pendatang disini dalam arti mereka keturunan transmigran yang sudah hidup berpuluh-puluh tahun di Papua. Yang benar-benar pendatang ya aku dan Bafith. Tidak ada kesulitan dalam bekerja dengan mereka. Mereka semua baik-baik. Dan yang lebih mengesankan lagi, “skill” nya tinggi. Jadinya… malah kami [aku dan Bafith] yang belajar banyak dari mereka.



Di Pkm Kameri, sehari-harinya kami menangani pasien yang berobat ke Pkm. Selain itu, Pkm juga mengadakan Puskesmas keliling [Puskel] sebulan sekali, demi memberikan pelayanan pengobatan bagi desa-desa di ujung Barat Jauh yang susah untuk mendapatkan pengobatan di PKm karena kesulitan akses transportasi [hampir-hampir tidak ada transportasi umum yang melayani masyarakat Numfor].

Ada juga home visite, bagi pasien yang tidak mampu datang ke Pkm. Cuma, berdasar pengalaman, tidak semua pasien yang minta home visite itu “gawat” atau jelek”. Kadang-kadang mereka hanya malas untuk pergi ke Pkm. Kalau sudah gini ya hanya bisa mengurut dada… Kadang-kadang juga ada pasien yang datang malam-malam, juga tetap dilayani. Well, untuk kunjungan ke rumah atau pengobatan di luar jam kerja, kami tidak menarik biaya, Cuma kadang-kadang mereka dengan suka rela memberi, ya diterima saja. Walaupun Pkm kami bukan Pkm DTP [Dengan Tempat Perawatan], tapi bila ada pasien yang memerlukan rawat inap, kami tetap merawat mereka di Pkm walau dengan fasilitas seadanya.

Rata-rata pasien datang kepada kami dengan malaria dan ISPA. Malahan penyakit umum yang ada di Jawa, yakni Hipertensi, jarang kami temui di Kameri. Ada juga penyakit kulit yang umum di Papua, yakni Kaskado [Tinea Imbrikata]. Penyakit kulit ini disebabkan oleh jamur, namun uniknya, mempunyai pola khusus di kulit, yakni skuama konsentris melingkar-lingkar di kulit. Seperti tato gitu...

Malaria... Berhubung tidak ada konfirmasi laboratories untuk plasmodium maupun kesulitan pengadaan RDT [Rapid Diagnostic Test] untuk malaria, sebagian besar penderita kami diagnosa dengan malaria klinis [malklin]. Jadi, didiagnosa hanya dengan adanya gejala klinis malaria seperti panas tinggi sampai berkeringat, sakit kepala, diare, muntah dan pembesaran limpa.

Tapi berhubung di Papua, rata-rata gejala malaria sudah tidak spesifik lagi. Kadang-kadang ada penderita datang hanya dengan mengeluh pusing saja, atau sakit tulang belakang atau muntah-muntah saja. Mulanya kami tidak percaya kalau gejala-gejala tunggal tersebut merupakan malaria, tapi setelah kami adakan pemeriksaan RDT, rata-rata hasilnya positif malaria, dan yang lebih mengerikan, biasanya positif mixed infection, artinya terkena infeksi baik plasmodium falsiparum bersamaan dengan plasmodium jenis lain. Hebatnya, walau kadang-kadang sudah positif 3-4, kondisi mereka masih bagus, dalam artian masih bisa berjalan, beraktivitas, dan datang hanya dengan keluhan sakit kepala, atau sakit belakang saja.

Rata-rata penduduk Numfor nih anemis, mulai dari slight, sampai yang berat. Aku pikir, ini disebabkan oleh malaria kronis yang mereka derita, selain itu, pada anak-anak, bisa juga disebabkan karena kecacingan. Naudzubillah deh… Well, secara tidak langsung kedua penyakit inilah yang mempengaruhi kecerdasan dari generasi-generasi muda Numfor.

Malaria ini terutama “meledak” dalam waktu-waktu tertentu dan desa tertentu. Biasanya kasus malaria meningkat pada saat bulan-bulan pergantian musim, serta banyak menyerang pada penduduk yang tinggal didekat rawa-rawa.

Kami memandang bahwa problem kesehatan utama di Numfor Barat ialah malaria dan kurangnya kesadaran hidup bersih dan sehat. Oleh karena itu, pada saat kami Puskel, kami juga menyisipkan suatu penyuluhan tentang pentingnya kebersihan pribadi dan lingkungan, serta tentang malaria. Cuma ya… memang sulit ya bila dasar pemahaman penduduknya sendiri juga rendah. Karena itu harus terus menerus mengulangnya.

Kendala di Numfor? Tentu saja masalah kurangnya persediaan obat dan masalah transportasi rujukan. Bila ada pasien gawat dan perlu dirujuk, pilihannya ialah merujuk ke Biak atau ke Manokwari. Tapi kedua kota ini sama jauhnya, dan tidak setiap hari ada transportasi menuju kesana. Kadang-kadang bila memang “harus” dan keluarganya juga “bersedia”, kami merujuk pasien dengan naik perahu Johnson, yakni sejenis perahu kayu bermotor dengan panjang 8-10 meter. Woww… bayangkan bila harus menempuh 6 jam perjalanan dengan menggunakan Johnson melintasi Samudera Pasifik ini? Harus kuakui, cukup mengerikan [dan beberapa temanku pernah mengalaminya].

***

Bulan April 2008, tak terasa sudah 5 bulan lebih aku bertugas di Papua, its time for back home! Beberapa temanku memilih memperpanjang masa PTT mereka di Biak-Numfor, sedangkan aku memilih untuk pulang.

Banyak hal yang sudah kudapat selama PTT di Numfor. Teman-teman baru, serta pengalaman medis dan non medis yang berharga. Ada beberapa hal yang berkesan buatku, salah satunya ialah saat aku Puskel sendirian di desa Pakreki. Saat itu pasien membludak banyak sekali, dari pagi sampai sore hari tak berhenti, mana pula yang menangani pasien cuma aku dan mbak Rosa [bagian pemberian obat]. Setelah selesai, baru aku sadar, sehari itu aku sudah menangani 110 pasien!! Sendirian! Woww… seumur-umur, itu jumlah pasien terbanyak yang pernah kutangani dalam sehari.

Selain itu, aku pernah harus tinggal di kompleks Pkm sendirian karena saat itu Bafith ada pelatihan Malaria di Jayapura, dan perawat-perawat Pkm sedang turun ke Biak. Hanya ada Pak Yance dan Paman saja di Pkm. Aduuuhhh… sepi sekaliiiii dan membosankan. Akhirnya aku memutuskan untuk “melarikan diri” sehari pergi ke Manokwari bersama Pak Yance. Kami menaiki Yapwairon PP [sampai rela tidur diatas kapal!], hanya untuk menikmati duren di Manokwari :D Seruuu…

Ada juga hal yang membuatku terharu saat itu, saat aku hendak ke Bandara FOO, ada seorang ibu [mama Oce] yang keukeuh memberi kenang-kenangan berupa ayam jago [bernama Pyo!] kepadaku, “terserah dok, mau dimasak atau dibawa ke Jawa”. “Haa???”. Wah… tidak mungkin kan aku menolaknya… akhirnya ayam itu dibungkus kardus dan kubawa sampai ke Bandara, namun begitu sampai di Bandara, kardus berisi ayam itu kuberikan kembali ke Paman agar “dinikmati” orang-orang Pkm [Maaf ya mama Oce…].

Saat pesawat Twin Otter mulai terbang meninggalkan Numfor, sedih juga… Bagaimanapun banyak kenangan berharga yang telah kujalani disana. Pemandangan eksotisnya yang sangat indah dan penduduknya yang ramah-ramah, benar-benar sudah mengguratkan kenangan yang dalam bagiku. I wish I can come back there some day later…

Catatan PTTku diPulau Obi "Venaseksi pertama-ku"

Catatan PTT-Venaseksi pertama-ku

by: dr.Indra (http://indrakus.blogspot.com)

Beberapa hari sebelumnya terbetik dalam hati, mungkin aku perlu tahu tehnik venaseksi, jadi saat Aso- temanku yang bertugas di pantai selatan P.Obi- singgah untuk bermalam dalam perjalanannya pulang ke puskesmas, bertanyalah aku.

Aso sudah ikut ATLS ( Advaced Trauma Life Support ), meskipun dia baru pernah melakukannya pada kambing, sedang aku baru pernah 1 kali melihatnya dilakukan waktu sekolah dulu. keesokan paginya Aso berangkat dan pasien itu datang malam hari...sulit dipercaya ya? begitu seseorang memiliki ilmunya maka yang membutuhkan ilmu tersebut cepat atau lambat akan datang...menyimpang sedikit, kejadian sebaliknya diterapkan oleh para residen anestesi waktu koas dulu, dalam mempersiapkan operasi, dalam OK ada obat -obat yang harus disiapkan, seperti obat anestesinya, muscle relaxantnya dan banyak lagi yang terakhir adalah obat emergency, nah yang terakhir ini sering di lewati, tidak dipajang di OK, supaya apa ? kutanya, ternyata mereka percaya kalau obat itu di pajang maka pasien biasanya akan membutuhkan, dan mereka tidak mau itu terjadi, aneh kan?

kembali ke pasien kita, beliau ini sebulan sebelumnya kuterima tengah malam dengan trauma tumpul abdomen dengan penyulit kuperkirakan adalah ruptur vesica, setelah stabilisasi paginya kukirim ke RSUD di Bacan, dan kabarnya berhasil selamat setelah di laparotomi.

malam itu dia kembali dengan syok, namun saat dicari akses vena para perawat tidak ada yang berhasil, jadi dengan kesepakatan bersama, aku lakukan venaseksi...setelah asepsis/antisepsis regio mediodistal tungkai bawah (maksudnya diatas matakaki sebelah dalam ) sebelah kiri. aku melakukan sayatan transversal dengan bisturi sepanjang satu cm sampai menembus dermis, saat tiba di subdermis, aku pakai klem bengkok untuk masuk secara tumpul...korek sana sini, akhirnya aku melihat sebentuk struktur seperti kabel putih ditempat dimana seharusnya ada vena disana, periksa-periksa dan minta 2nd opinion dari perawat senior, sepakat itu adalah vena yang dimaksud,

langkah berikut kita bebaskan ia dari sekitarnya dan meyelipkan pinset di bawah vena tersebut. aku ikat dengan silk ujung distalnya dan menusukan abocath yang besar kearah proksimal dan kita aliri cairan...masuk, tidak ada bendungan, tidak ada bocor dan tidak ada darah. fiksasi dan tutup dengan kassa steril tanpa dijahit ( itu nanti )...venaseksi selesai

alhmdulilah besok paginya beliau sudah bangun dan segar, entah kenapa beliau syok semalam,
beliau minta pulang maka aku lepas abocathnya setelah sebelumnya mengikat mati kedua ujung vena dengn catgut, seharusnya semalam aku pakai catgut, jadi silknya tidak perlu dibuka lagi. dan jahit sayatan yang kubuat...selesai

nasib orang lain-lain, beberapa minggu kemudian aku dapat kabar beliau meninggal setelah diurut perutnya di Tidore yang tukang urutnya terkenal handal, dalam hati kupikir mungkin jahitannya terbuka lagi terjadi pendarahan lagi. wallahualam

Gerobak 500 juta rupiah (Kisah Dokter PTT di Kupang)


Tulisan dari salah seorang teman sejawat saya, sama-sama satu angkatan mahasiswa di UI, kini bertugas sebagai dokter PTT di NTT, dan telah dimuat di harian Pos Kupang 11 Februari 2006.
Gerobak 500 juta rupiah
Oleh Sigit Sulistyo *
BAYANGKAN Anda berada di dalam mobil yang dindingnya tertutup rapat, tidak ada jendela yang bisa dibuka, tidak ada pendingin ruangan. Berkendaraan pada pukul satu siang saat musim panas di Lembata. Selama empat jam berada dalam mobil itu melewati rute Wulandoni (ujung selatan Lembata) ke Lewoleba sepanjang empat puluh kilometer menerobos jalan berbukit yang sebagian besar berbatu-batu dan aspal yang sudah rusak. Orang Lembata bilang : setengah mati.
Saya pernah merasakannya, berulang kali. Yaitu saat berada dalam mobil puskesmas keliling. Mobil ini berupa minitruk, semua jendelanya tertutup rapat dan tidak bisa dibuka karena dirancang sebagai mobil dengan fasilitas pendingin ruangan. Karena jenis minitruk, Anda bisa bayangkan gonjangan yang timbul saat menerjang jalan berbatu. Kalau tidak pegangan badan bisa terungkit hingga kepala menghantam atap mobil. Penggerak rodanya hanya bagian belakang saja dan tidak dilengkapi alat derek. Sehingga dengan medan Lembata yang berbukit-bukit, seringkali perlu usaha ekstra keras untuk bisa melewatinya. Apalagi saat musim hujan, banyak jalan rusak terkikis aliran air. Saya pernah sampai tujuh kali, berulang kali ambil ancang-ancang, baru berhasil melewati tikungan menanjak yang berbatu.
Jika orang sehat saja merasakan penderitaan mengalami situasi saat harus naik mobil puskesmas keliling ini, apalagi orang sakit di pelosok Lembata yang harus dirujuk ke Rumah Sakit Umun Daerah (RSUD) di Lewoleba. Tidak cukup setengah mati, tapi hampir mati.
Pada saat awal petugas di Puskesmas Wulandoni, Kabupaten Lembata, seorang bidan punya cerita lucu. Ada seorang ibu yang mengalami kesulitan untuk melahirkan. Bidan tersebut memutuskan merujuk ibu itu ke RSUD Lewoleba menggunakan mobil puskesmas keliling. Mungkin karana guncangan hebat selama perjalanan, di tengah jalan bayinya keluar sendiri.
Ternyata cerita ini berulang, karena saya mengalami hal serupa saat merujuk ibu yang saat akan melahirkan dengan letak bayinya sungsang. Setelah diobservasi selama dua puluh empat jam tidak ada kemajuan persalinan, akhirnya saya putuskan untuk merujuk ibu tersebut ke RSUD di Lewoleba dengan mobil puskesmas keliling. Pas setengah perjalanan, tiba-tiba ibu itu berteriak karena merasakan bayinya keluar. Akhirnya bayi lahir dalam mobil puskesmas keliling. Mungkin bayinya terdorong keluar karena goncangan bertubi-tubi dalam perjalanan.
Saat ini dari delapan puskesmas di Kabupaten Lembata, tujuh puskesmas dilengkapi dengan unit mobil puskesmas keliling, empat di antaranya merupakan jenis minitruk. Pengadaan mobil puskesmas keliling jenis minitruk ini tidak dapat karena tidak mendasarkan pada kebutuhan lokal spesifik dilembata.Pertama medan geografis di Lembata sebagian besar berbukit-bukit dan banyak infrastruktur jalan yang belum diaspal, apalagi jalan antardesa. Apabila dilihat dari namanya yaitu mobil puskesmas keliling, berarti mobil ini berfungsi untuk berkeliling melayani masyarakat di desa-desa. Dengan situasi fasilitas jalan saat ini, tentu sangat sulit untuk mencapai desa-desa dengan mobil jenis minitruk yang berbadan besar dan lebar. Apalagi mobil ini berpenggerak dua roda saja dan tidak dilengkapi alat derek sehingga.sangat sulit untuk menjelajah medan bukit yang jalannya tidak rata dan licin saat musim hujan.
Menggunakan mobil ini di medan yang sulit sama saja dengan memerkosanya, karena tidak sesuai dengan kemampuan mobil. Akibatnya banyak mobil puskesmas keliling jenis minitruk di Lembata sudah rusak, padahal belum lama digunakan.
Kedua, konsekuensi mobil dengan pendingin ruangan berarti harus terjamin tersedianya freon (zat pendingin untuk pendingin ruangan) yang berkelanjutan. Padahal sudah mahfum bahwa mendapatkan freon di Lembata sangat sulit, belum harganya yang mahal. Akibatnya, tiga mobil puskesmas keliling minitruk yang ada di Lembata pendingin ruangannya tidak berfungsi. Padahal jendela mobil tertutup rapat dan tidak bisa dibuka. Bayangkan, betapa pengap dan panasnya berada dalam mobil ini saat berkendara pada siang bolong.
Ketiga, dua dari empat unit mobil puskesmas keliling ini dilengkapi peralataan medis yang lengkap. Fasilitas ini terutama ditujukan untuk bisa melayani tindakan medis khusus seperti operasi kecil atau pemeriksaan gigi secara mobile. Alat-alat medis ini memyebabkan harga tiap unit mobil puskesmas keliling membengkak menjadi 500 juta rupiah. Padahal peralatan medis ini kenyataannya tidak digunakan secara optimal. Misalkan meja gigi yang hanya digunakan saat pameran saja karena pasien yang lain ingin memeriksa giginya bisa datang langsung ke puskesmas.
Selain itu, dengan banyaknya pembangunan puskesmas pembantu, maka tindakan operasi kecil bisa dilaksanakan di puskesmas pembantu, tidak perlu dalam mobil puskesmas keliling. Akhirnya alat-alat kedokteran ini menjadi mubazir karena tidak pernah dipakai, padahal harganya puluhan juta rupiah.
Jadi lebih tepat pengadaan mobil puskesmas keliling ini berupa mobil jenis jip yang memiliki penggerak empat roda dan dilengkapi alat derek. Tidak perlu dengan fasilitas pendingin ruangan, asalkan ventilasi cukup. Spesifikasi ini akan sesuai dengan medan geografis di Lembata. Sehingga fungsi mobil ini untuk mendekatkan pelayanan kesehatan sampai di desa-desa bisa tercapai. Dan apabila digunakan untuk menghantar pasien yang dirujuk ke RSUD di Lewoleba, tidak menambah penderitaan pasien karena harus bertahan dalam ruangan pengap dan goncangan hebat.
Pengadaan alat-alat medis dalam mobil sebaiknya hanya alat medis gawat darurat saja untuk menunjang fungsi mobil puskesmas keliling sebagai ambulans saat mobilisasi pasien menuju puskesmas atau rumah sakit rujukan. Pembelian alat medis lainnya hanya pemborosan dan kenyataannya tidak digunakan di lapangan. Namun Dinas Kesehatan Lembata rupanya tidak memahami masalah pengadaan mobil puskesmas keliling ini. Buktinya pada tahun 2005 ini, Pemerintah Daerah Lembata sudah membeli lagi dua unit mobil puskesmas keliling jenis minitruk dengan anggaran satu miliar rupiah.
Dana pengadaan mobil ini berasal dari dana alokasi khusus dari pemerintah pusat. Begitu pula jenis spesifikasi mobil juga sudah ditentukan oleh pemerintah pusat. Seharusnya rencana pengadaan mobil puskesmas keliling ini harus mengacu pada kebutuhan lokal spesifik yang diidentifikasi berdasarkan data akurat. Bukan semata-mata mengikuti kebijakan pemberi donor (donor driven policy). Walaupun mobil ini pengadaan dari pusat, namun seharusnya Dinas Kesehatan Lembata memberikan masukan kepada pemerintah pusat terhadap kebutuhaan lokal berdasar medan operasi di Lembata yang sebagian besar terbukti dan belum diaspal.
Satu kali saat sedang santai, saya amati mobil puskesmas keliling yang parkir di pekarangan Puskesmas Wulandoni. Engsel pintu belakang mobil sudah hancur. Untuk menahan pintu biar tidak terbuka, sopir mengikat gagang pintu dengan tali jemuran, mengaitkannya di besi penyangga kursi dalam mobil. Kedua lampu di atab mobil sudah lama tidak berfungsi, kaca penutupnya hampir jatuh. Bak tempat cuci tanganlepas dari dinding mobil, akhirnya dikeluarkan supaya tidak menindih penumpang. Badan bagian belakang mobil sudah copot. Sopirnya bilang pada saat dia mengendarai mobil itu tiba-tiba di tengah jalan ada suara bruk. Dia berhenti dan melihat rangka besi bagian belakang mobil jatuh terhempas di jalan.
Mengenang saat mengendarai mobil puskesmas keliling ini mengingatkan masa kecil saya saat naik gerobak. Guncangannya tidak berbeda jauh dengan gerobak yang dulu saya naiki. Mungkin bedanya masalah harga, gerobak yang satu ini harganya 500 juta rupiah.
* Penulis, dokter pada Puskesmas Wulandoni, Lembata

Prop. Maluku.. Sekedar Berbagi Cerita

by: dr.Jullyadharma
Ini sekedar informasi dan gambaran tentang pengalaman saya sebagai
dokter PTT Pusat dengan kategori ST di salah satu kabupaten di Prop.
Maluku sejak akhir tahun 2006, yang mungkin berguna (mungkin juga
tidak):
- Dari segi penghasilan:
Dari pusat: 6,355 jt/bln (G:1,73jt; I:4,625jt), diterima LANCAR
perbulan lewat kantor pos.
Dari pemda/dinkes: insentif berubah dari tahun ke tahun
thn 2006 : 2jt/bln sama rata,
thn 2007 : 2-3jt/bln
thn 2008 : 3-5jt/bln.
Utk 2007 & 2008, tergantung lokasi Puskesmas.
Tapi yang ini biasanya agak sulit karena DIRAPEL sesuai
pencairan dana APBD.
Jadi utk thn 2008, penghasilan /bulan antara 9,355 - 11,355jt/bln,
belum termasuk dari praktek. Apakah itu layak atau tidak, jelas
sangat relatif tergantung penilaian masing-masing & kemampuan
manajemen keuangan kita.
- Dari segi pengalaman: daerah yang baru & berbeda berarti tantangan
baru & pengalaman baru, terus tugas utama sebagai clinician, tidak
jadi pimpinan puskesmas, so.... manajemen puskesmas kita ga ikut
campur, (tapi kalau mau ikutan juga masih dimungkinkan, tergantung
kebijakan & lobi kepada pimpinan puskesmas yang mayoritas
perawat/bidan senior).
- Dari segi pengetahuan : namanya juga daerah Sangat Terpencil, jadi
ada kesulitan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran & mencari SKP
yang berasal dari seminar/sejenisnya (hampir gak mungkin tuh,
biasanya kalo mudik sekalian ikutin seminar & beli buku,etc)
- Hubungan antara Dinkes Kabupaten dengan para dokter2 PTT di tempat
saya, so far so good (but not always that good).
- Hal buruk yang mungkin dialami sebagai dokter PTT : terkena
malaria, terisolasi karena cuaca buruk, dicacimaki, dipukul,
diancam, pasien gak mau bayar, MENINGGAL DUNIA(pernah kan
beritanya,kalo gak salah di PAPUA, dll)

Paling tidak karena sudah dan masih menjalaninya, bagi saya PTT itu
tidak seburuk yang diceritakan, tapi juga tidak sebaik yang
diceritakan.
Kalau sudah bosan atau tidak cocok, tinggal berhenti PTT, kalau
betah tinggal coba lamar jadi PNS, atau mungkin PTT seumur hidup???

NB: Untuk periode pertama, saya masih kategori T, jadi ga dapat
insentif pusat, cuma gaji 1,53jt/bln + insentif pemda yang dirapel
sesudah hampir setahun bertugas, jadi lumayan sengsara juga sih.



Pengalaman Sebagai Dokter PTT di Pelosok Sumsel

8 September 2008, awal perjalanan karirku sebagai dokter PTT didesa Karya Maju, kecamatan Keluang, Kabupaten MUBA Sumatera Selatan. Perjalanan menuju Keluang harus membutuhkan waktu 3 jam dari Palembang. Pertama kali tiba di lokasi saya melihat sebuah Puskesmas rawat Inap yang besar dengan kompleks perumahan disekitarnya.
Puskesmas MUBA
Memasuki ruangan Puskesmas, saya langsung disambut dengan ramah dan antusias oleh para staff, terutama oleh Kepala Puskesmas. Mereka semua merupakan staff yang enak diajak bekerja sama, kemudian saya melihat rumah dinas yang akan saya tempati beberapa bulan ke depan. Rumah dinasnya cukup besar, mungkin rumah type 54. Rumah dinas saya memiliki ruang tamu, ruang keluarga, 3 kamar tidur satu kamar mandi dan dapur. Pekarangan belakangnya cukup luas untuk bercocok tanam, hanya saja beberapa bagian membutuhkan perbaikan sedikit.
Yang jadi tantangan untuk bertugas di desa tersebut adalah tidak adanya aliran listrik dan sulitnya sinyal HP. Air ledeng pun mengalir hanya 3 kali seminggu bahkan pernah katanya mengalir sekali dalam sebulan. Masalah air bisa saya atasi, tapi masalah listrik akan membuat saya cukup resah karena selama ini saya tidak pernah lepas dari komputer dan koneksi internet, jadi saat bertugas di Puskesmas nanti yang paling saya rindukan adalah Internet.
Semoga awal pengalamanku sebagai dokter PTT akan membawaku menuju segala impianku. Semangat – Apapun  yang terjadi, patut disyukuri! (sumb: www.nicopoundra.com )

PTT, Antara Pengabdian atau Pekerjaan

by : dr. mimi Unbraw
              Ada sebuah cerita dari seorang teman sejawat di daerah PTT, pernah suatu ketika dia bertanya pada dokter lain saat pemberangkatan PTT, “Sebelum berangkat PTT ini, pekerjaan sampeyan apa?”. Suatu pertanyaan yang sangat biasa di kalangan dokter-dokter PTT. Hal yang terasa agak aneh buatku adalah jawaban sang dokter PTT ini, dengan santainya berkata “Lho, pekerjaan saya ya PTT…”. Awalnya agak bingung juga denger jawaban semacam itu.
Setelah anamnesa lebih jauh, ternyata dokter yang satu ini merupakan angkatan lumayan tua, yang telah berkali-kali melanglangbuana untuk PTT dari satu daerah ke daerah lainnya. Baru kali ini kebayang di benakku hal semacam itu. Kalo cerita tentang teman sejawat yang kerasan di tempat PTT, terus memperpanjang masa PTT-nya sih masih sering denger. Tapi cerita seorang dokter yang tiap tahun daftar PTT dengan daerah yang beda-beda masih terdengar asing di telingaku.
Sebagai seorang dokter (apalagi dokter fresh graduate), pilihan untuk menjalani PTT di daerah kriteria sangat terpencil mungkin akan sangat menggiurkan. Gaji dan tunjangan lumayan besar dari Depkes sudah pasti akan ada di genggaman, belum lagi jika ada tambahan insentif daerah, atau tambahan dari praktek pribadi di tempat PTT, sungguh telah menjadi magnet buat sejumlah besar teman sejawat kita. Selesai menjalani PTT, kembali ke daerah asal dengan berjuta-juta pengalaman (dan juga duit tentunya…), untuk kemudian meneruskan studi atau mencari pekerjaan yang baru. Bagi banyak di antara kita, mungkin akan terasa sulit mendapat pekerjaan dengan penghasilan seperti yang didapatkan saat PTT, sehingga sangat mungkin timbul keinginan untuk menjalani PTT lagi di daerah sangat terpencil. Apalagi buat pecinta petualangan, hmm… sambil menyelam minum air, berpetualang ke pelosok-pelosok Indonesia (dengan biaya ditanggung Depkes) sekaligus meraup rupiah dalam jumlah lumayan besar… enak tho, manteb tho…
Dari dokter-dokter yang PTT di Propinsi Gorontalo, yang aku tau, minimal ada 4 orang dokter yang sudah 2 kali ini menjalani PTT di tempat berbeda, walaupun ada juga dokter yang memperpanjang masa PTT-nya di sini (bahkan kabarnya ada yang sampai 5 kali perpanjangan PTT, edan…). Jumlah itu adalah jumlah yang sudah pasti aku tau, dan mungkin hanya sebagian kecil saja, maklumlah kan gak mungkin aku kenal dan ngobrol dengan semua dokter PTT di Gorontalo ini. Suatu ketika sempet aku tanya ke seorang dokter yang telah 2 kali PTT ini, “Kenapa kok pengen PTT lagi pak?”, ternyata alasannya sangat sederhana dan manusiawi, “Ya karena nganggur gak ada kerjaan, mending PTT aja…”. Sebuah jawaban sederhana dan jujur, yang langsung meresap di benakku. Iya juga ya, ntar abis PTT kan aku juga musti nyari kerja. Dengan titel seorang dokter, ternyata belon tentu akan gampang nyari kerja, sama aja dengan gelar-gelar kesarjanaan yang laen, musti apply dulu, tes, wawancara, dll… Kalo mau jadi PNS juga musti ikut tes CPNS, bersaing dengan ribuan dokter lainnya. So, jadilah PTT sebagai salah satu “pekerjaan” alternatif bagi banyak dokter di Indonesia. “Iseng-iseng berhadiah”, istilah salah satu temen yang juga berangkat PTT kemarin.
Tetapi perlu diingat, dengan adanya fenomena seperti ini, bukan berarti PTT itu selalu enak. Ada juga diantara teman sejawat yang selepas PTT langsung kapok, “gak lagi-lagi deh aku PTT…”. Nah, “enak” atau tidak menjalani PTT, tentu saja sangat tergantung dari tempat dimana kita PTT. Itulah pentingnya kita punya senior-senior, baik itu durante atau post PTT, yang bisa jadi rujukan info tentang daerah PTT yang mungkin akan kita pilih. Sampai sejauh ini sih cerita yang aku denger tentang dokter-dokter PTT lainnya masih berimbang, antara yang menyenangkan maupun yang mengenaskan.
Terlepas dari enak atau tidaknya PTT yang akan kita lakukan nanti, sebelum mendaftar PTT sudah seharusnya kita mempersiapkan diri buat kemungkinan terburuk. Walaupun sudah banyak perbaikan dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi sudah bukan rahasia lagi bahwa sampai saat ini masih ada daerah yang kurang memperhatikan kondisi dokter-dokter PTT di wilayahnya. Menyenangkan atau tidak, yang pasti begitu kita sudah di lokasi PTT, mau nggak mau, suka ato enggak ya musti kita jalani, lha wong kita sendiri yang ndaftar PTT… Nah, karena kita PTT dengan niat kita sendiri, yang bukan merupakan suatu keharusan, maka sudah menjadi suatu keniscayaan buat kita untuk menjalankan tugas dengan ikhlas.
Lain halnya dengan jaman dulu, dimana PTT merupakan suatu kewajiban yang musti dilewati dokter sebelum bisa mendapatkan SIP. Jadi, kalo dipikir-pikir lagi, mungkin PTT jaman dulu lebih ke arah pengabdian kali ya (walaupun dengan label “wajib” yang berarti mau ato enggak ya dipaksa musti mau, hehehe…). Singkatnya, sebelum bisa praktek sendiri, ya musti melakukan pengabdian dulu melalui PTT, baik itu emang pengen ato terpaksa karena label “wajib” tadi. Tetapi saat ini rupanya mulai terjadi pergeseran trend, dimana PTT yang walaupun gak lagi diwajibkan, tetapi tetap meraih banyak sekali peminat dengan bermacam-macam motif untuk daftar PTT (ciee… motif, kayak berita-berita kriminal aja). Yah, emang sih, ada indikasi (masih mungkin lo ya) kebanyakan motif utama tetep duit, yang kurang lebih bisa digambarkan dengan banyaknya temen sejawat yang hanya memilih kriteria sangat terpencil, dengan mengosongi pilihan 2 (harus kriteria terpencil) atau 3 (bersedia ditempatkan dimanapun sesuai alokasi jika tidak diterima di pilihan 1 dan 2). So, jadilah PTT kriteria terpencil seringkali banyak tempat yang masih kosong alias gak ada peminatnya (pak ato bu Depkes… ada solusi gak ???).
PTT itu sendiri kerjanya gimana sih? Ya tentu aja sangat bervariasi, tergantung daerahnya juga, kebanyakan sih sebagai dokter fungsional di PKM, bisa PKM rawat jalan ato rawat inap. Trus, beban kerjanya juga bervariasi banget. Ada kalanya beban kerja di daerah kriteria terpencil justru lebih berat daripada di daerah sangat terpencil. Berat ringannya medan yang musti ditempuh, ketersediaan air, listrik, ato rumah dinas juga sangat tergantung dimana kita PTT. Kalo di Gorontalo Utara sih semuanya dah bisa diakses dengan mobil, lewat jalan beraspal, dengan listrik yang alhamdulillah lancar biarpun sering mati mendadak, dan air yang juga masih relatif mudah didapatkan (di tempatku malah ada depo isi ulang air galon, sebutannya di sini “perusahaan air minum”, weleh-weleh…). Yang membedakan kriteria terpencil dengan sangat terpencil paling cuman jauh ato tidaknya dari kota. Tapi, sekali lagi, semuanya dah bisa diakses dengan lancar naik mobil angkutan.
Nah, dari uraian di atas, PTT-ku ini termasuk yang mana nih? Pengabdian??? Pekerjaan??? Hmm… dibilang pekerjaan sih kayaknya gak harus PTT kali buat nyari pekerjaan dg gaji setara PTT kriteria terpencil, di Jawa insyaAllah masih bisa. Dibilang pengabdian juga gak seberat itu kali kerjanya, ya sama aja dengan dokter fungsional PKM di Jawa, cuman lebih sepi aja… lebih sepi pasien, lebih sepi masyarakat, lebih sepi hiburan, lebih sepi suara kendaraan, tapi lebih rame suara jangkrik… Jadi, termasuk yang mana, ya enaknya di-mix aja, termasuk pekerjaan yang mengandung sedikit pengabdian, sekaligus lahan mencari pengalaman… plus bulan madu…hehehe…(sumb; diazepamania.wordpress.com/)

Footer Widget 1

Footer Widget 2