Gerobak 500 juta rupiah (Kisah Dokter PTT di Kupang)


Tulisan dari salah seorang teman sejawat saya, sama-sama satu angkatan mahasiswa di UI, kini bertugas sebagai dokter PTT di NTT, dan telah dimuat di harian Pos Kupang 11 Februari 2006.
Gerobak 500 juta rupiah
Oleh Sigit Sulistyo *
BAYANGKAN Anda berada di dalam mobil yang dindingnya tertutup rapat, tidak ada jendela yang bisa dibuka, tidak ada pendingin ruangan. Berkendaraan pada pukul satu siang saat musim panas di Lembata. Selama empat jam berada dalam mobil itu melewati rute Wulandoni (ujung selatan Lembata) ke Lewoleba sepanjang empat puluh kilometer menerobos jalan berbukit yang sebagian besar berbatu-batu dan aspal yang sudah rusak. Orang Lembata bilang : setengah mati.
Saya pernah merasakannya, berulang kali. Yaitu saat berada dalam mobil puskesmas keliling. Mobil ini berupa minitruk, semua jendelanya tertutup rapat dan tidak bisa dibuka karena dirancang sebagai mobil dengan fasilitas pendingin ruangan. Karena jenis minitruk, Anda bisa bayangkan gonjangan yang timbul saat menerjang jalan berbatu. Kalau tidak pegangan badan bisa terungkit hingga kepala menghantam atap mobil. Penggerak rodanya hanya bagian belakang saja dan tidak dilengkapi alat derek. Sehingga dengan medan Lembata yang berbukit-bukit, seringkali perlu usaha ekstra keras untuk bisa melewatinya. Apalagi saat musim hujan, banyak jalan rusak terkikis aliran air. Saya pernah sampai tujuh kali, berulang kali ambil ancang-ancang, baru berhasil melewati tikungan menanjak yang berbatu.
Jika orang sehat saja merasakan penderitaan mengalami situasi saat harus naik mobil puskesmas keliling ini, apalagi orang sakit di pelosok Lembata yang harus dirujuk ke Rumah Sakit Umun Daerah (RSUD) di Lewoleba. Tidak cukup setengah mati, tapi hampir mati.
Pada saat awal petugas di Puskesmas Wulandoni, Kabupaten Lembata, seorang bidan punya cerita lucu. Ada seorang ibu yang mengalami kesulitan untuk melahirkan. Bidan tersebut memutuskan merujuk ibu itu ke RSUD Lewoleba menggunakan mobil puskesmas keliling. Mungkin karana guncangan hebat selama perjalanan, di tengah jalan bayinya keluar sendiri.
Ternyata cerita ini berulang, karena saya mengalami hal serupa saat merujuk ibu yang saat akan melahirkan dengan letak bayinya sungsang. Setelah diobservasi selama dua puluh empat jam tidak ada kemajuan persalinan, akhirnya saya putuskan untuk merujuk ibu tersebut ke RSUD di Lewoleba dengan mobil puskesmas keliling. Pas setengah perjalanan, tiba-tiba ibu itu berteriak karena merasakan bayinya keluar. Akhirnya bayi lahir dalam mobil puskesmas keliling. Mungkin bayinya terdorong keluar karena goncangan bertubi-tubi dalam perjalanan.
Saat ini dari delapan puskesmas di Kabupaten Lembata, tujuh puskesmas dilengkapi dengan unit mobil puskesmas keliling, empat di antaranya merupakan jenis minitruk. Pengadaan mobil puskesmas keliling jenis minitruk ini tidak dapat karena tidak mendasarkan pada kebutuhan lokal spesifik dilembata.Pertama medan geografis di Lembata sebagian besar berbukit-bukit dan banyak infrastruktur jalan yang belum diaspal, apalagi jalan antardesa. Apabila dilihat dari namanya yaitu mobil puskesmas keliling, berarti mobil ini berfungsi untuk berkeliling melayani masyarakat di desa-desa. Dengan situasi fasilitas jalan saat ini, tentu sangat sulit untuk mencapai desa-desa dengan mobil jenis minitruk yang berbadan besar dan lebar. Apalagi mobil ini berpenggerak dua roda saja dan tidak dilengkapi alat derek sehingga.sangat sulit untuk menjelajah medan bukit yang jalannya tidak rata dan licin saat musim hujan.
Menggunakan mobil ini di medan yang sulit sama saja dengan memerkosanya, karena tidak sesuai dengan kemampuan mobil. Akibatnya banyak mobil puskesmas keliling jenis minitruk di Lembata sudah rusak, padahal belum lama digunakan.
Kedua, konsekuensi mobil dengan pendingin ruangan berarti harus terjamin tersedianya freon (zat pendingin untuk pendingin ruangan) yang berkelanjutan. Padahal sudah mahfum bahwa mendapatkan freon di Lembata sangat sulit, belum harganya yang mahal. Akibatnya, tiga mobil puskesmas keliling minitruk yang ada di Lembata pendingin ruangannya tidak berfungsi. Padahal jendela mobil tertutup rapat dan tidak bisa dibuka. Bayangkan, betapa pengap dan panasnya berada dalam mobil ini saat berkendara pada siang bolong.
Ketiga, dua dari empat unit mobil puskesmas keliling ini dilengkapi peralataan medis yang lengkap. Fasilitas ini terutama ditujukan untuk bisa melayani tindakan medis khusus seperti operasi kecil atau pemeriksaan gigi secara mobile. Alat-alat medis ini memyebabkan harga tiap unit mobil puskesmas keliling membengkak menjadi 500 juta rupiah. Padahal peralatan medis ini kenyataannya tidak digunakan secara optimal. Misalkan meja gigi yang hanya digunakan saat pameran saja karena pasien yang lain ingin memeriksa giginya bisa datang langsung ke puskesmas.
Selain itu, dengan banyaknya pembangunan puskesmas pembantu, maka tindakan operasi kecil bisa dilaksanakan di puskesmas pembantu, tidak perlu dalam mobil puskesmas keliling. Akhirnya alat-alat kedokteran ini menjadi mubazir karena tidak pernah dipakai, padahal harganya puluhan juta rupiah.
Jadi lebih tepat pengadaan mobil puskesmas keliling ini berupa mobil jenis jip yang memiliki penggerak empat roda dan dilengkapi alat derek. Tidak perlu dengan fasilitas pendingin ruangan, asalkan ventilasi cukup. Spesifikasi ini akan sesuai dengan medan geografis di Lembata. Sehingga fungsi mobil ini untuk mendekatkan pelayanan kesehatan sampai di desa-desa bisa tercapai. Dan apabila digunakan untuk menghantar pasien yang dirujuk ke RSUD di Lewoleba, tidak menambah penderitaan pasien karena harus bertahan dalam ruangan pengap dan goncangan hebat.
Pengadaan alat-alat medis dalam mobil sebaiknya hanya alat medis gawat darurat saja untuk menunjang fungsi mobil puskesmas keliling sebagai ambulans saat mobilisasi pasien menuju puskesmas atau rumah sakit rujukan. Pembelian alat medis lainnya hanya pemborosan dan kenyataannya tidak digunakan di lapangan. Namun Dinas Kesehatan Lembata rupanya tidak memahami masalah pengadaan mobil puskesmas keliling ini. Buktinya pada tahun 2005 ini, Pemerintah Daerah Lembata sudah membeli lagi dua unit mobil puskesmas keliling jenis minitruk dengan anggaran satu miliar rupiah.
Dana pengadaan mobil ini berasal dari dana alokasi khusus dari pemerintah pusat. Begitu pula jenis spesifikasi mobil juga sudah ditentukan oleh pemerintah pusat. Seharusnya rencana pengadaan mobil puskesmas keliling ini harus mengacu pada kebutuhan lokal spesifik yang diidentifikasi berdasarkan data akurat. Bukan semata-mata mengikuti kebijakan pemberi donor (donor driven policy). Walaupun mobil ini pengadaan dari pusat, namun seharusnya Dinas Kesehatan Lembata memberikan masukan kepada pemerintah pusat terhadap kebutuhaan lokal berdasar medan operasi di Lembata yang sebagian besar terbukti dan belum diaspal.
Satu kali saat sedang santai, saya amati mobil puskesmas keliling yang parkir di pekarangan Puskesmas Wulandoni. Engsel pintu belakang mobil sudah hancur. Untuk menahan pintu biar tidak terbuka, sopir mengikat gagang pintu dengan tali jemuran, mengaitkannya di besi penyangga kursi dalam mobil. Kedua lampu di atab mobil sudah lama tidak berfungsi, kaca penutupnya hampir jatuh. Bak tempat cuci tanganlepas dari dinding mobil, akhirnya dikeluarkan supaya tidak menindih penumpang. Badan bagian belakang mobil sudah copot. Sopirnya bilang pada saat dia mengendarai mobil itu tiba-tiba di tengah jalan ada suara bruk. Dia berhenti dan melihat rangka besi bagian belakang mobil jatuh terhempas di jalan.
Mengenang saat mengendarai mobil puskesmas keliling ini mengingatkan masa kecil saya saat naik gerobak. Guncangannya tidak berbeda jauh dengan gerobak yang dulu saya naiki. Mungkin bedanya masalah harga, gerobak yang satu ini harganya 500 juta rupiah.
* Penulis, dokter pada Puskesmas Wulandoni, Lembata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Footer Widget 1

Footer Widget 2