Short Story tentang PTT-ku di Biak-Numfor
Diposting oleh Luluch The Cinnamon di http://luluch.blogspot.comNumfor? Kameri? Wah… daerah mana tuh??
Baru kali itulah aku mendengarnya. Setelah mencari-cari info, akhirnya aku baru tahu, bahwa Numfor itu sebuah pulau yang terletak di teluk Cendrawasih, di bagian kepala burung dari Papua. Saat itu, disana terdapat 2 distrik yakni distrik Numfor Timur dan distrik Numfor Barat, dengan 3 Puskesmas yakni Pkm Yenburwo, Pkm Kameri, dan Pkm Mandori.
Karena satu dan berbagai hal, keberangkatan kami ke Numfor tertunda sampai awal Desember. Kita dapat menjangkau Numfor melalui 2 macam transportasi, yakni dengan kapal [waktu tempuh bervariasi antara 12-24 jam], atau dengan pesawat perintis Twin Otter [30 menit saja!]. Dan itulah pertamakalinya aku mencicipi bagaimana rasanya menaiki pesawat kecil berpenumpang 16 orang itu. Mendebarkan!
Sampai di bandara FOO di Yenburwo [“ibu kota” nya Numfor], kami dijemput oleh kepala Pkm kami, yakni Bapak Simson Kapisa, yang akrab juga dipanggil Paman [ini akronim dari “Pak Mantri” hehe :D ]. Dari Yenburwo ke Kameri dapat ditempuh dalam 15 menit perjalanan dengan mobil. Waktu itu aku agak sedikit ngeri, karena perjalanan kami melintasi hutan yang lebat dan sepi…
Sekilas pandang, saat itu aku merasa Numfor cukup oke. Pemandangan yang indah [Numfor tuh eksotis banget], ada jalan beraspal, rumah-rumahnya sudah berdinding tembok, ada satu-dua kendaraan bermotor yang lewat, dan penduduknya sudah berpakaian lengkap! [well… penduduk Numfor tidak ber-koteka lagi :D ]. Apalagi saat melihat layar HP, masih ada sinyal Telkomsel. Waahh… benar-benar satu karunia bahwa hp ku bisa aktif di Numfor. Dan aku melihat ada 1 masjid di Yenburwo, waahhh… hebat juga, soalnya mayoritas penduduk Numfor kan Kristen Protestan.
Karena satu dan berbagai hal, keberangkatan kami ke Numfor tertunda sampai awal Desember. Kita dapat menjangkau Numfor melalui 2 macam transportasi, yakni dengan kapal [waktu tempuh bervariasi antara 12-24 jam], atau dengan pesawat perintis Twin Otter [30 menit saja!]. Dan itulah pertamakalinya aku mencicipi bagaimana rasanya menaiki pesawat kecil berpenumpang 16 orang itu. Mendebarkan!
Sampai di bandara FOO di Yenburwo [“ibu kota” nya Numfor], kami dijemput oleh kepala Pkm kami, yakni Bapak Simson Kapisa, yang akrab juga dipanggil Paman [ini akronim dari “Pak Mantri” hehe :D ]. Dari Yenburwo ke Kameri dapat ditempuh dalam 15 menit perjalanan dengan mobil. Waktu itu aku agak sedikit ngeri, karena perjalanan kami melintasi hutan yang lebat dan sepi…
Sekilas pandang, saat itu aku merasa Numfor cukup oke. Pemandangan yang indah [Numfor tuh eksotis banget], ada jalan beraspal, rumah-rumahnya sudah berdinding tembok, ada satu-dua kendaraan bermotor yang lewat, dan penduduknya sudah berpakaian lengkap! [well… penduduk Numfor tidak ber-koteka lagi :D ]. Apalagi saat melihat layar HP, masih ada sinyal Telkomsel. Waahh… benar-benar satu karunia bahwa hp ku bisa aktif di Numfor. Dan aku melihat ada 1 masjid di Yenburwo, waahhh… hebat juga, soalnya mayoritas penduduk Numfor kan Kristen Protestan.
***
Di Numfor, kami menempati rumah dinas yang terletak di kompleks Puskesmas. Pkm Kameri sendiri terletak di desa Pomdori, distrik Numfor Barat. Suasananya cukup lumayan, tidak sepi-sepi amat. Tapi yang lebih keren lagi, Pkm kami berada ditepi pantai. Menyenangkan!
Berhubung aku cewek, aku tinggal di rumah dinas bersama mbak Rosa, perawat PKm. Sedangkan Bafith tinggal bersama mas Aho dan istrinya di rumah didepanku. Hampir semua peralatan rumah tangga sudah lengkap di rumah dinas. Ternyata Paman berpikiran jauh, agar petugas Pkm betah, maka rumah dinas telah dilengkapi terlebih dahulu. Well, tidak semua kepala Puskesmas berpikir seperti itu lho… Makanya dari awal aku sudah salut dengan Paman.
Selama tinggal di Numfor, untuk makan sehari-hari, tidak ada kesulitan. Di Numfor juga tersedia toko yang menjual bahan pangan pokok seperti beras. Tapi kesulitan utama disana ialah susah mendapatkan sayuran dan buah-buahan. Paling-paling ya makan dengan ikan, mie instant atau dengan sayuran yang umum disana, yakni daun katok, daun pepaya dan daun singkong.
Petugas Pkm Kameri terdiri dari orang asli dan pendatang. Tapi pendatang disini dalam arti mereka keturunan transmigran yang sudah hidup berpuluh-puluh tahun di Papua. Yang benar-benar pendatang ya aku dan Bafith. Tidak ada kesulitan dalam bekerja dengan mereka. Mereka semua baik-baik. Dan yang lebih mengesankan lagi, “skill” nya tinggi. Jadinya… malah kami [aku dan Bafith] yang belajar banyak dari mereka.
Di Pkm Kameri, sehari-harinya kami menangani pasien yang berobat ke Pkm. Selain itu, Pkm juga mengadakan Puskesmas keliling [Puskel] sebulan sekali, demi memberikan pelayanan pengobatan bagi desa-desa di ujung Barat Jauh yang susah untuk mendapatkan pengobatan di PKm karena kesulitan akses transportasi [hampir-hampir tidak ada transportasi umum yang melayani masyarakat Numfor].
Ada juga home visite, bagi pasien yang tidak mampu datang ke Pkm. Cuma, berdasar pengalaman, tidak semua pasien yang minta home visite itu “gawat” atau jelek”. Kadang-kadang mereka hanya malas untuk pergi ke Pkm. Kalau sudah gini ya hanya bisa mengurut dada… Kadang-kadang juga ada pasien yang datang malam-malam, juga tetap dilayani. Well, untuk kunjungan ke rumah atau pengobatan di luar jam kerja, kami tidak menarik biaya, Cuma kadang-kadang mereka dengan suka rela memberi, ya diterima saja. Walaupun Pkm kami bukan Pkm DTP [Dengan Tempat Perawatan], tapi bila ada pasien yang memerlukan rawat inap, kami tetap merawat mereka di Pkm walau dengan fasilitas seadanya.
Rata-rata pasien datang kepada kami dengan malaria dan ISPA. Malahan penyakit umum yang ada di Jawa, yakni Hipertensi, jarang kami temui di Kameri. Ada juga penyakit kulit yang umum di Papua, yakni Kaskado [Tinea Imbrikata]. Penyakit kulit ini disebabkan oleh jamur, namun uniknya, mempunyai pola khusus di kulit, yakni skuama konsentris melingkar-lingkar di kulit. Seperti tato gitu...
Malaria... Berhubung tidak ada konfirmasi laboratories untuk plasmodium maupun kesulitan pengadaan RDT [Rapid Diagnostic Test] untuk malaria, sebagian besar penderita kami diagnosa dengan malaria klinis [malklin]. Jadi, didiagnosa hanya dengan adanya gejala klinis malaria seperti panas tinggi sampai berkeringat, sakit kepala, diare, muntah dan pembesaran limpa.
Tapi berhubung di Papua, rata-rata gejala malaria sudah tidak spesifik lagi. Kadang-kadang ada penderita datang hanya dengan mengeluh pusing saja, atau sakit tulang belakang atau muntah-muntah saja. Mulanya kami tidak percaya kalau gejala-gejala tunggal tersebut merupakan malaria, tapi setelah kami adakan pemeriksaan RDT, rata-rata hasilnya positif malaria, dan yang lebih mengerikan, biasanya positif mixed infection, artinya terkena infeksi baik plasmodium falsiparum bersamaan dengan plasmodium jenis lain. Hebatnya, walau kadang-kadang sudah positif 3-4, kondisi mereka masih bagus, dalam artian masih bisa berjalan, beraktivitas, dan datang hanya dengan keluhan sakit kepala, atau sakit belakang saja.
Rata-rata penduduk Numfor nih anemis, mulai dari slight, sampai yang berat. Aku pikir, ini disebabkan oleh malaria kronis yang mereka derita, selain itu, pada anak-anak, bisa juga disebabkan karena kecacingan. Naudzubillah deh… Well, secara tidak langsung kedua penyakit inilah yang mempengaruhi kecerdasan dari generasi-generasi muda Numfor.
Malaria ini terutama “meledak” dalam waktu-waktu tertentu dan desa tertentu. Biasanya kasus malaria meningkat pada saat bulan-bulan pergantian musim, serta banyak menyerang pada penduduk yang tinggal didekat rawa-rawa.
Kami memandang bahwa problem kesehatan utama di Numfor Barat ialah malaria dan kurangnya kesadaran hidup bersih dan sehat. Oleh karena itu, pada saat kami Puskel, kami juga menyisipkan suatu penyuluhan tentang pentingnya kebersihan pribadi dan lingkungan, serta tentang malaria. Cuma ya… memang sulit ya bila dasar pemahaman penduduknya sendiri juga rendah. Karena itu harus terus menerus mengulangnya.
Kendala di Numfor? Tentu saja masalah kurangnya persediaan obat dan masalah transportasi rujukan. Bila ada pasien gawat dan perlu dirujuk, pilihannya ialah merujuk ke Biak atau ke Manokwari. Tapi kedua kota ini sama jauhnya, dan tidak setiap hari ada transportasi menuju kesana. Kadang-kadang bila memang “harus” dan keluarganya juga “bersedia”, kami merujuk pasien dengan naik perahu Johnson, yakni sejenis perahu kayu bermotor dengan panjang 8-10 meter. Woww… bayangkan bila harus menempuh 6 jam perjalanan dengan menggunakan Johnson melintasi Samudera Pasifik ini? Harus kuakui, cukup mengerikan [dan beberapa temanku pernah mengalaminya].
***
Bulan April 2008, tak terasa sudah 5 bulan lebih aku bertugas di Papua, its time for back home! Beberapa temanku memilih memperpanjang masa PTT mereka di Biak-Numfor, sedangkan aku memilih untuk pulang.
Banyak hal yang sudah kudapat selama PTT di Numfor. Teman-teman baru, serta pengalaman medis dan non medis yang berharga. Ada beberapa hal yang berkesan buatku, salah satunya ialah saat aku Puskel sendirian di desa Pakreki. Saat itu pasien membludak banyak sekali, dari pagi sampai sore hari tak berhenti, mana pula yang menangani pasien cuma aku dan mbak Rosa [bagian pemberian obat]. Setelah selesai, baru aku sadar, sehari itu aku sudah menangani 110 pasien!! Sendirian! Woww… seumur-umur, itu jumlah pasien terbanyak yang pernah kutangani dalam sehari.
Selain itu, aku pernah harus tinggal di kompleks Pkm sendirian karena saat itu Bafith ada pelatihan Malaria di Jayapura, dan perawat-perawat Pkm sedang turun ke Biak. Hanya ada Pak Yance dan Paman saja di Pkm. Aduuuhhh… sepi sekaliiiii dan membosankan. Akhirnya aku memutuskan untuk “melarikan diri” sehari pergi ke Manokwari bersama Pak Yance. Kami menaiki Yapwairon PP [sampai rela tidur diatas kapal!], hanya untuk menikmati duren di Manokwari :D Seruuu…
Ada juga hal yang membuatku terharu saat itu, saat aku hendak ke Bandara FOO, ada seorang ibu [mama Oce] yang keukeuh memberi kenang-kenangan berupa ayam jago [bernama Pyo!] kepadaku, “terserah dok, mau dimasak atau dibawa ke Jawa”. “Haa???”. Wah… tidak mungkin kan aku menolaknya… akhirnya ayam itu dibungkus kardus dan kubawa sampai ke Bandara, namun begitu sampai di Bandara, kardus berisi ayam itu kuberikan kembali ke Paman agar “dinikmati” orang-orang Pkm [Maaf ya mama Oce…].
Saat pesawat Twin Otter mulai terbang meninggalkan Numfor, sedih juga… Bagaimanapun banyak kenangan berharga yang telah kujalani disana. Pemandangan eksotisnya yang sangat indah dan penduduknya yang ramah-ramah, benar-benar sudah mengguratkan kenangan yang dalam bagiku. I wish I can come back there some day later…
mantabbs sekali kisahnya! semoga bermanfaat untuk adik2 sejawat..
BalasHapuspengalaman yang menarik kak....
BalasHapus